a. Pengertian RME
Pembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics
Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang
dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana
menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut
meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi
pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas
dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah
realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika
atau pengetahuan matematika formal.
Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model,
produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran
matematika realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga
siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Dengan
pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang
lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dan dunia nyata.
b. Komponen RME
Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran.
• Reinvention dan Progressive Mathematization (“penemuan terbimbing’ dan
proses matematisasi yang makin meningkat). Menurut Gravemijer (1994:
90), berdasar prinsip reinvention, para siswa diberi kesempatan untuk
mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan.
Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam
merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula
dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini
strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur
penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan
masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian
serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat
belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara
formal (progressive mathematizing).
• Didactical phenomenology (Fenomena yang mengandung muatan
didaktik). Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasarkan prinsip ini
penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran
matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i)
memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses
pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam
proses progressive mathematizing. Topik-topik matematika yang disajikan
atau masalah kontekstual yang akan diangkat dalam pembelajaran harus
mempertimbangan dua hal yakni aplikasinya (kemanfaatannya) serta
kontribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya.
Terkait dengan hal di atas, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab
yaitu :bagaimana kita mengidentifikasi fenomena atau gejala yang relevan
dengan konsep dan gagasan matematika yang akan dipelajari siswa,
bagaimana kita harus mengkonkritkan fenomena tau gejala tersebut, apa
tindakan didaktik yang diperlukan untuk membantu siswa mendapatkan
pengetahuan seefisien mungkin.
• Self-developed models (Pembentukan model oleh siswa sendiri),
Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat
mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani
jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap
awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui
generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu
yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa. Dengan
generalisasi dan formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi
model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for
masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi pengetahuan dalam
formal matematika.
Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik dan komponen sebagai berikut.
1. The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran
matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah
dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang
kontekstual bagi siswa.
2. Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model),
artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam
bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah
ke tingkat abstrak.
3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya
pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan
siswa.
4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran
dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa
dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya),
artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat
memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
c. Penerapan Model RME di Kelas
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika
realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di
sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya
pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan
yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam
bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami
pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan.
Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika
realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan
beberapa jenis peca
han.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar
dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan
bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep
matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau
dalam bidang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar